Ini yang Akan Terjadi Jika Pola Asuh pada Anak Slow Learner Tepat!

students-1177711_960_720Halo Teman Sehat! Sebagai calon orang tua yang kece, kamu wajib tau banyak hal tentang pola asuh. Salah satunya, tentang bagaimana menyayangi anak yang didiagnosa slow learner.

Apa itu slow learner?

Slow learner terjadi ketika seorang anak memiliki intelegensi dibawah teman-teman seusianya dengan kemampuan berpikir yang lebih lambat.

Ciri slow learner adalah adanya masalah dalam berbahasa dan berbicara, mengalami kegelisahan yang sulit teratasi, sulitnya mengingat sesuatu, dan sulitnya melakukan transfer informasi dari satu situasi ke situasi lainnya.

Kali ini, seseorang yang inspiratif akan membagikan kisahnya yang mungkin ngga dialami oleh semua orang. Kisah ini juga bisa jadi referensi kamu kalau jadi orang tua nanti. Yuk, simak!

Gardini Oktari dan keistimewaannya

Gardini Oktari, S.Pd adalah seorang wanita dengan IQ 78. Gardini juga didiagnosis “slow learner” sejak kelas 1 di Sekolah Dasar. Gardini diperlakukan seperti anak tuna rungu yang tidak bisa mendengar ucapan guru selama Sekolah Dasar. Hingga suatu waktu, kedua orang tua Gardini dipanggil oleh kepala sekolah.

Pada saat pertemuan itulah, orang tua Gardi baru menyadari bahwa ada sesuatu yang ‘salah’ dengan Gardi. Ternyata memang benar. Setelah dilakukan tes IQ, barulah diketahui bahwa Gardi memiliki IQ 78 dan dianjurkan untuk bersekolah di sekolah anak berkebutuhan khusus.

Ayah saya pun mencarikan sekolah anak berkebutuhan khusus yang tepat. Bahkan, untuk mendapatkan cara yang tepat untuk menangani saya, Ayah saya rela bersekolah lagi untuk mengambil gelar master pada psikologi perkembangan.gardi

Akhirnya, masa SD-SMA saya lalui di Sekolah Luar Biasa di Jakarta. Saya merasa nyaman dan bisa belajar dengan lebih baik di sekolah baru, mungkin karena kondisi kita sama, saya merasa nyaman, dengan berbagai macam teman yang jauh dari bayangan saya.

Setelah saya lulus dari SMA, saya berkuliah di Universitas AL-Azhar Indonesia pada tahun 2007.

Kehidupan saya berbeda dari kebanyakan orang lain. Saya lebih sering ke perpustakaan, menyendiri, sambil membaca buku.

Saya banyak belajar dari teman-teman kuliah saya. Ada yang suka dan tidak suka akan kehadiran saya. Ada juga yang tidak suka ketika saya bergabung dengan kelompoknya, hingga membicarakan saya dari belakang dan mengatakan hal-hal yang menurut saya, kurang baik. Tapi, saya harus belajar memahami dan mengerti orang lain di sekitar saya.

Saat memasuki masa skripsi, saya harus berpikir dan berjuang lebih keras dibandingkan teman-teman saya. Disaat saya maju sidang skripsi, rasanya gemeteran di depan dosen dan saya menangis. Bukan karena takut dan ingin kabur, tapi bahagia bisa menyelesaikan tugas akhir saya dengan perjuangan sendiri dan orang-orang di sekitar saya. Setelah selesai sidang, saya menunggu di luar dan berdoa. Tak lama panggilan dari dalam memanggil dan mengumumkan hasilnya dan saya mendapat nilai B nilai 3,00.

Selama berkuliah, Gardini juga aktif di komunitas anak berkebutuhan khusus sebagai coach dan memberikan materi untuk para orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

Betapa beruntungnya saya memiliki Ayah dan Ibu yang sangat mengerti kondisi saya, tidak malu akan kondisi saya, dan terus mengajak saya untuk mencapai potensi tertinggi diri saya. Terima kasih Ayah dan Ibu!

Bagaimana pendapatmu, Teman Sehat?

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.