Epilepsi pada Anak dan Faktor Risikonya, Apa saja?

Halo Teman Sehat! Kamu pasti sering mendengar istilah epilepsi. Penyakit yang satu ini kerap terjadi pada anak-anak dan dampaknya bisa berlanjut hingga dewasa. Sebenernya bagaimana epilepsi terjadi ? Dan apa aja sih faktor risikonya? Yuk, simak!

 

Sejarah

Kata epilepsi berasal dari bahasa Yunani yakni Epilambanmein, yang berarti serangan. Epilepsi mulai dikenal sejak tahun 2000 sebelum masehi, ditemukan pertama kali oleh Hippocrates sebagai gejala yang disebabkan oleh adanya gangguan di otak. Dari segi definisi, epilepsi merupakan sekumpulan gejala berupa serangan yang bersifat spontan dan berkala. Serangan tersebut bisa berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis yang terjadi berulang akibat adanya gangguan fungsi otak secara berkala karena ketidaknormalan yang terjadi pada sel saraf.

Baca juga : Mau Jaga Kesehatan Otak? Hindari Makanan Ini!

Prevalensi Epilepsi di Indonesia

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia menyatakan bahwa prevalensi epilepsi cukup tinggi pada bayi dan anak-anak dengan jenis kelamin laki-laki. Penelitian dari Ikatan Dokter Anak Indonesia pada tahun 2011 di RSUP Denpasar menyebutkan kalau insiden ini banyak terjadi pada kempok umur 1-5 tahun (42.0%). Dampaknya? Penderita epilepsi pasti memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan orang normal. Yap, hal ini terjadi akibat gangguan sensorik, motorik, kognitif atau psikis yang secara berkala bisa dialaminya. Lalu, apa aja sih faktor risiko epilepsi?

Faktor risiko epilepsi

Ada dua faktor yang berperan pada epilepsi, yaitu faktor idiopatik dan faktor simtomatik. Faktor idiopatik adalah faktor yang ngga diketahui penyebabnya. Hal ini umumnya terjadi karena kelainan genetik pada sintesis dan metabolisme asam glutamik yang menghasilkan zat berupa Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Zat ini merupakan penghambat kerja sel saraf yang ngga normal. Faktor simtomatik adalah faktor yang diketahui penyebabnya dan bisa dicegah. Apa aja?

Faktor prenatal

  1. Usia ibu saat hamil: ibu yang hamil pada usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun lebih berisiko mengalami berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan seperti preeklampsia dan trauma persalinan. Komplikasi ini mengakibatkan prematuritas sehingga bayi lahir dengan berat badan kurang Hal ini bisa mengakibatkan bayi mengalami hipoksia dan iskemia yang meningkatkan risiko terkena serangan epilepsi.
  2. Pemakaian bahan toksik: ibu yang sering mengonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, dan minum minuman beralkohol berdampak pada kerusakan otak bayi.

Faktor natal

  1. Asfiksia: trauma persalinan akan mengakibatkan perdarahan dalam tengkorak bayi sehingga terjadi kerusakan pada bagian otak yang bernama hipoccampus. Hipoccampus bertanggung jawab terhadap berbagai fungsi vital.
  2. Berat badan lahir: bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) atau kurang dari 2500 gram cenderung berisiko mengalami gangguan metabolisme berupa hipoglikemia dan hipokalsemia yang mengakibatkan kerusakan otak.
  3. Persalinan dengan alat: persalinan yang sulit sehingga mengharuskan penggunaan alat bantuan akan meningkatkan risiko cedera mekanik pada kepala bayi.

Faktor postnatal

  1. Kejang dan deman: masalah yang satu ini sering banget dihadapi oleh anak bayi. Nah, jangan dibiarin aja ya Teman Sehat! Kejang yang terjadi pada suhu di atas 38˚C akan berisiko menimbulkan kerusakan otak pada anak.

Ternyata, beberapa faktor eksternal bisa meningkatkan risiko anak mengalami epilepsi. Bagi Teman Sehat yang berperan sebagai seorang ibu atau calon ibu, penting banget buat ngejauhi faktor-faktor risiko di atas. Yuk, hidup sehat dan cegah epilepsi!

Editor & Proofreader: Fhadilla Amelia S.Gz

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.