Sahabat Sehat, Thailand merupakan salah satu negara dengan kisah sukses pengendalian stunting. Sejak tahun 19770-an negara ini telah menyusun strategi ambisius agar masyarakat tidak lagi berada pada lingkaran setan malnutrisi. Butuh waktu puluhan tahun hingga angka stunting turun sesuai target WHO dan nasional. Lagi-lagi kebijakan pemerintah menjadi kunci sukses penurunan angka stunting. Kira-kira apa saja program ambisius yang dilakukan Thailand?
Angka stunting di Thailand
Thailand merupakan negara yang paling signifikan mengalami penurunan angka stunting dibandingkan negara lainnya dalam periode singkat. Pada tahun 1987 hampir sekitar seperempat anak balita mengalami stunting tepatnya sebesar 24,6%. Kemudian berangsur menurun signifikan secara berturut-turut: 1993 (21,1%), 1995 (18,1%), 2006 (15,7%), 2012 (16,3%), 2016 (10,5%). Menurut World Health Organization (WHO) prevalensi stunting suatu negara ditargetkan tidak lebih dari 20%. Thailand telah melampaui jauh di bawahnya.
Sementara prevalensi gizi kurang tahun 1982 sebesar 50%, tahun 1991 turun tajam menjadi 20%, dan tahun 2006 kurang dari 10%. Anak gizi buruk bahkan dinyatakan hampir tidak ada.
Kunci sukses atasi stunting
Tahun 1977 Thailand telah mengambil langkah serius penanganan stunting dalam Rencana Pembangunan Nasional. Negara ini menyadari bahwa stunting bukan sekadar isu kesehatan yang dapat diatasi dengan intervensi pelayanan gizi dan kesehatan semata. Stunting butuh pendekatan multi sektor, termasuk ekonomi dan sosial. Kemiskinan menjadi salah satu faktor penyebab kondisi stunting anak, begitu pula stunting menyebabkan era kemiskinan baru suatu negara.
Kunci sukses Thailand yaitu melalui pendekatan community based. Negara ini mencetak kader kesehatan atau mobilizer di setiap desa di mana 80% nya adalah perempuan. Tugas kader yaitu mengedukasi masyarakat tentang pengetahuan kesehatan dan gizi dasar, melakukan pelayanan kesehatan, seperti fasilitasi imunisasi, pemberian obat cacing, terapi penanggulangan dehidrasi, mendukung penyediaan air bersih dan jamban sehat, hingga edukasi pertanian berkaitan dengan ketahanan pangan.
Para kader tidak dibayar, namun dilatih secara rutin oleh pemerintah dan diberikan penghargaan kerja sosial masyarakat. Selain itu, kader dan keluarganya juga diberikan pelayanan kesehatan gratis. Satu orang kader bertanggungjawab terhadap 10-20 keluarga. Pemerintah menentukan Kebutuhan Dasar Minimum sehingga tolok ukur pencapaian kader di setiap desa sama untuk mengukur keberhasilan program. Standar ini akan dievaluasi berkala oleh pemerintah. Thailand menilai pendekatan community based mampu mengurangi biaya dalam jumlah besar, memberdayakan masyarakat, dan mendorong kekuatan mandiri.
Penanggulangan stunting di Indonesia
Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) prevalensi stunting di Indonesia tahun 2022 sebesar 21,6%. Namun, angka ini masih jauh dari target Kementerian Kesehatan RI yaitu 14%.
Pada dasarnya, pendekatan community based yang dilakukan di Thailand telah diterapkan juga di Indonesia dengan membentuk kader Posyandu di setiap desa/kelurahan. Namun, terdapat beberapa evaluasi posyandu di Indonesia untuk optimalisasi keberhasilan program, di antaranya (1) Pemenuhan kebutuhan alat posyandu yang layak; (2) Penyediaan sarana prasarana posyandu yang memadai; (3) Kurangnya jumlah kader dalam satu wilayah; (4) Belum optimalnya penyetaraan kemampuan dan pengetahuan setiap kader.
Sahabat Sehat, dari Thailand Indonesia bisa belajar bagaimana pengelolaan pendekatan community based yang efektif dan efisien untuk mengatasi stunting. Meskipun tidak sepenuhnya sama, namun kisah suksesnya mampu kita teladani. Ambisi dan konsistensi pemerintah dalam memprioritaskan isu stunting juga mengambil andil besar dalam keberhasilan ini.