Cyberchondria, Akibat Pencarian Info Kesehatan Berlebih

Sahabat Sehat, dengan berkembangnya teknologi dan ketersediaan informasi, layanan telemedicine ataupun artikel kesehatan menjadi pilihan logis untuk mencoba mendiagnosa kondisi kesehatan apalagi di era pandemi Covid-19. Meskipun informasi kesehatan online mudah diakses, konten yang dibagikan belum tentu akurat. Kalau kamu ngga menyaring informasi dengan baik, lama-kelamaan bisa timbul kecemasan. Ketika kebiasaan menjelajah ini menjadi berlebihan, kondisi ini disebut cyberchondria.

Apa itu Cyberchondria?

Cyberchondria adalah istilah yang menggambarkan pola pencarian informasi medis secara daring berlebihan yang menyebabkan kecemasan ekstrim. Peneliti Stylianos Arsenakis dalam Journal of Psychiatric Research menjelaskan bahwa orang dengan indikasi cyberchondria cenderung merasakan emosi negatif setelah mendapatkan informasi kesehatan, tetapi merasa terdorong untuk melanjutkan perilaku tersebut. Bahkan sampai ke titik meragukan diagnosis dari dokter.

mengenal Cyberchondria dan cara mengatasinya
Foto: Pexels.com

Cyberchondria bukanlah diagnosis formal, dan ngga akan ditemukan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). Hingga sekarang definisi cyberchondria masih menjadi perdebatan, tetapi banyak ahli berasumsi bahwa kondisi ini yang relatif umum dialami. Psikolog telah berusaha untuk memahami kondisi tersebutdengan mempertimbangkan bagaimana kaitannya dengan kecemasan kesehatan, intoleransi ketidakpastian, dan gangguan obsesif-kompulsif (OCD).

Penyebab Cyberchondria

Ada beberapa kelompok individu yang rentan terhadap cyberchondria. Diantaranya orang riwayat depresi atau kecemasan, individu yang memiliki riwayat gangguan kesehatan keluarga dan kematian anggota keluarga karena suatu penyakit tertentu dan orang tua yang baru memiliki bayi.

Cyberchondria biasanya berasal dari kemudahan dan kecepatan dalam akses informasi kesehatan online yang ngga perlu mengeluarkan biaya konsultasi dokter dan bisa mengakses dimana saja. Self-diagnosis dan mempercayai berbagai informasi kesehatan tanpa menyaringnya, justru akan meningkatkan kecemasan hingga level ekstrim.

Tanda Cyberchondria

Berdasar cyberchondria severity scale (CSS), ada beberapa tanda yang perlu diwaspadai. Misalnnya, seperti menghabiskan setidaknya 1 – 3 jam untuk mendiagnosis gejala yang dialami, bahkan bisa mencari informasi yang sama berulang lebih dari 4 kali dalam sehari.

Kemudian ketika pencarian online membuat tertekan dan cemas, bukannya meyakinkan bahwa kamu baik saja, serta muncul ketakutan menderita beberapa penyakit, bukan hanya satu atau dua.

Timbulnya dorongan kuat mencari kepastian dari dokter atau profesional medis, namun ngga merasa puas dan mempercayai jawaban yang diberikan oleh profesional medis tersebut setelahnya, juga bisa menjadi salah satu tandanya. Selain itu, merasakan kebutuhan kompulsif untuk memeriksa kembali mendiagnosis gejala secara online, bahkan setelah melakukan pencarian menyeluruh sebelumnya.

Mungkin tanda yang telah disebutkan di atas ngga bisa kamu rasakan sendiri. Oleh karena itu, butuh bantuan orang di sekitar seperti teman, anggota keluarga, atau profesional medis utnuk mengenali gejalanya.

mengenal Cyberchondria dan cara mengatasinya
Foto: Pexels.com

Mengatasi Cyberchondria

Jika kamu merasa mengalami cyberchondria, beberapa studi menyarankan untuk berhenti mencari informasi kesehatan secara online. Informasi kesehatan tersebut bukan duduk persoalannya, tetapi obsesi terhadap informasi yang menjadikannya sumber kecemasan.

Pastikan kamu mengakses informasi kesehatan dari situs terpercaya dan berdasarkan sumber saintifik teruji. Carilah sumber informasi yang jelas, informatif, detail dan berempati terhadap kebutuhan kamu. Situs terpercaya membantumu membentuk konsep kontekstual mengenai penyakit atau gejala yang dialami.

Bila sudah pada level ekstrim, segera konsultasikan kecemasan dengan ahli medis. Minta mereka membantumu mengelola kecemasan terkait informasi medis dan bagaimana mempergunakan informasi sewajarnya.

Nah, Sahabat Sehat yuk semakin bijak dalam memanfaatkan informasi kesehatan. Semoga informasi kesehatan menjadi pemacu hidup sehat dan bukan pemicu kecemasan ya.

Editor & Proofreader: Zafira Raharjanti, STP

Referensi

Arsenakisa, S, Chatton, Penzenstadler, L, Billieuxde, J, Berlefg, D, Starcevichi, I, Viswasami, K. Khazaalabj,Y. 2021.  Unveiling the relationships between cyberchondria and psychopathological symptoms. Journal of Psychiatric Research 143: 254-261.

Ellwood, B. 2022. Study explores the psychological predictors of cyberchondria, a pattern of excessive searching for health information online. https://www.psypost.org/2022/02/study-explores-the-psychological-predictors-of-cyberchondria-a-pattern-of-excessive-searching-for-health-information-online-62602. Diakses 21 Februari 2022.

McElroy, E, and Shevlin, M. 2014. The development and initial validation of the cyberchondria severity scale (CSS). Journal of Anxiety Disorders 28(2): 259-265.

Rowe, S. 2021. What Is Cyberchondria?. https://psychcentral.com/anxiety/cyberchondria. Diakses 21 Februari 2022.

Starcevic, V, and Berle, D. 2013. Cyberchondria: towards a better understanding of excessive health-related Internet use. Expert Rev. Neurother. 13(2), 205–213.

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.