Sahabat Sehat, akhir-akhir ini banyak terjadi kasus kekerasan seksual di Indonesia. Motifnya pun bermacam-macam mulai dari pemaksaan nyata hingga bentuk koersif seksual. Pasalnya, bentuk ini tampak telah mendapatkan persetujuan kedua belah pihak, namun nyatanya sebaliknya. Bahkan, ada beberapa bentuk koersif seksual yang termasuk kriminal.
Koersif seksual vs non-koersif seksual
Koersif seksual merupakan kondisi ketika salah satu pihak mengalami tekanan, tipu daya, ancaman, atau manipulasi dengan tujuan korban dapat diajak berhubungan seksual. Koersif seksual merupakan pelecehan seksual yang tampak samar sebab tidak ada kekerasan fisik di dalamnya.
Kondisi tersebut membuat korban mengiyakan ajakan pelaku, meskipun tanpa konsen. Korban tidak memiliki pilihan lain karena akan merasa bersalah atau mendapatkan konsekuensi jika menolak. Iming-iming tambahan lainnya yaitu korban akan mendapatkan hadiah jika bersedia diajak berhubungan seksual.

Menurut penelitian tahun 2018, mayoritas pelaku koersif seksual merupakan laki-laki dan korbannya perempuan. Hal ini didukung keyakinan bahwa koersif seksual merupakan kebiasaan normal yang terjadi umum di masyarakat, keinginan mengatur dan mengontrol, keyakinan laki-laki harus lebih dominan dibandingkan perempuan. Banyak orang mengira bahwa respon seksual secara fisik, seperti ereksi penis atau lubrikasi vagina merupakan bentuk konsen seksual, namun nyatanya tidak demikian. Terdapat faktor konsen lain yang harus diperhatikan.
Non-koersif seksual merupakan kondisi di mana dua belah pihak secara eksplisit dan antusias memberikan konsen secara verbal tanpa dipengaruhi tekanan dari pihak mana pun dalam melakukan hubungan seksual. Kedua belah pihak tidak mendapatkan ancaman, tipu daya, maupun konsekuensi negatif dalam hubungan tersebut.
Apa saja bentuk-bentuknya?
Seseorang perlu waspada terhadap koersif seksual dengan bentuk-bentuk tekanan/manipulasi berikut ini:

- Kekerasan. Pelaku akan mengajak atau menanyai secara terus menerus meskipun korban tidak tertarik hingga bersedia diajak berhubungan seksual
- Perasaan bersalah. Pelaku membuat korban merasa bersalah jika menolak ajakan seksnya dengan cara membebankan kebutuhan seks kepada korban
- Berbohong. Pelaku menggunakan mitos-mitos, janji palsu, atau menjelaskan bahwa bentuk koersif seksual adalah hal yang wajar dan termasuk konsen seksual
- Ancaman. Berbagai bentuk ancaman dilakukan, seperti meninggalkan pasangan jika menolak diajak berhubungan seks, memanfaatkan ketidakpercayaan diri korban dengan mengatakan bahwa korban tidak menarik lagi, membosankan, atau menganggap ‘sampah’ karena telah berhubungan seks sebelumnya
- Blackmail. Pelaku menggunakan ‘senjata’ seperti penyebaran foto atau video seksual jika tidak menuruti keinginannya
- Ketakutan dan intimidasi. Bentuk ini merupakan manifestasi dari bentuk-bentuk koersif seksual lainnya
- Ketidakseimbangan kekuatan. Pelaku biasanya memiliki jabatan, pekerjaan, atau tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan korban. Ancaman kehilangan pekerjaan, penurunan jabatan, kerusakan reputasi akan terjadi jika keinginan pelaku tidak dituruti
- Alkohol dan obat-obatan terlarang. Bentuk ini telah dikategorikan sebagai pemerkosaan karena korban mendapati hubungan seksual dalam keadaan tidak sadarkan diri
Mengapa dikategorikan kriminal?
Seluruh kegiatan seksual di bawah ancaman, tekanan, serta tanpa konsen merupakan bentuk kejahatan seksual serta dikategorikan kriminal. Jika korban telah memberikan konsen, namun di bawah perasaan bersalah, manipulasi, dan pertengkaran maka hal tersebut tidak termasuk perbuatan kriminal meskipun tetap dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Akibat dari koersif seksual, yaitu korban menyalahkan diri sendiri, marah, berkurangnya hasrat seksual, stres, trauma, depresi, bahkan bunuh diri pada kasus yang berat.