Sahabat Sehat, keberadaan bos perempuan dalam pekerjaan mungkin jarang ditemui. Menurut data, hanya sekitar 7,4% bos perempuan yang menjabat menjadi CEO di 500 perusahaan top dunia, sementara sebagian besar posisi eksekutif perusahaan diisi oleh laki-laki.
Namun, terdapat narasi bahwa saat perempuan menjabat menjadi bos terdapat tendensi tidak disukai oleh karyawan laki-laki. Mengapa demikian? Yuk, simak informasinya di sini!
Ancaman bagi laki-laki
Laki-laki merasa keberadaan bos perempuan mengancam sisi maskulinitas mereka sehingga akan mengambil sikap lebih tegas atau perlawanan untuk mengkompensasi ancaman tersebut. Berdasarkan studi yang diterbitkan oleh Personality and Social Psychology Bulletin, bos perempuan akan menemukan banyak perlawanan saat berinteraksi dengan karyawan laki-laki.
Bahkan menurut studi lainnya, karyawan laki-laki menginginkan gaji lebih tinggi saat mengetahui bos yang memimpin mereka adalah seorang perempuan. Ironinya, kondisi ini akan mereda jika bos perempuan tidak terlalu menunjukkan atau merendahkan kekuatan di hadapan karyawan laki-laki. Lain halnya dengan karyawan perempuan, mereka tidak membeda-bedakan antara bos perempuan atau laki-laki.
Kelebihan bos perempuan
Faktanya, bos perempuan sama sekali bukan ancaman bagi karyawan, bahkan memiliki kemampuan yang jarang dimiliki oleh bos laki-laki. Bos perempuan secara alamiah cenderung lebih baik dalam menangkap dan membaca ekspresi wajah karyawannya. Hal ini bisa digunakan untuk memahami kondisi, mendengarkan ide, dan menangkap kegelisahan karyawan sehingga hasil kinerjanya pun menjadi lebih optimal.
Dalam pekerjaan, seorang pemimpin sebaiknya mencoba pendekatan secara feminin dan maskulin. Artinya, karakter yang mencakup keduanya perlu dilaksanakan, seperti kepekaan, kerja sama, aksesibilitas, sikap pengambilan keputusan, analisis yang baik, serta kemampuan persuasif.
Glass ceiling bagi perempuan
Hambatan bagi perempuan untuk mencapai posisi tinggi dalam suatu pekerjaan bukan hanya dari kalangan laki-laki yang merasa maskulinitasnya terancam, tetapi juga fenomena glass ceiling. Kamu bayangkan langit-langit kaca yang membatasi ruang gerak, sama halnya dengan fenomena ini.
Perempuan sering kali menemui hambatan yang mencegah mereka untuk naik jabatan atau posisi tertentu dalam karir bahkan di era modern seperti sekarang. Hal ini menyebabkan sedikitnya jumlah perempuan di jajaran tinggi perusahaan atau pekerjaan.
Belum ada cara khusus untuk menembus fenomena glass ceiling ini. Perempuan membutuhkan strategi dan tenaga ekstra 2 kali dibandingkan laki-laki jika menginginkan posisi lebih tinggi.
Belum lagi anggapan bahwa perempuan akan mengambil cuti yang panjang atau bahkan meninggalkan pekerjaan ketika mempunyai anak. Jika mereka kembali ke dunia kerja, maka akan timbul ketakutan bahwa dedikasi dan kemampuannya akan berkurang karena harus terbagi dengan tugas di keluarga sebagai pengurus anak.
Sahabat Sehat, kesetaraan gender nampaknya telah menjadi acuan berkehidupan masyarakat saat ini. Perempuan selayaknya memiliki kesempatan yang sama dengan pria termasuk dalam karir. Bukan perbedaan gender yang menjadi pengambil keputusan profesionalitas, namun kemampuan dan etos kerja individu tersebut. Share artikel ini ke orang-orang sekitar kamu, ya!
Editor & Proofreader: Zafira Raharjanti, STP