Nelayan merupakan pekerjaan yang menggantungkan hidupnya pada hasil laut. Indonesia dengan ±70% wilayahnya lautan, menjadikan nelayan adalah profesi yang cukup mudah dilakukan. Namun, pandemi juga ikut mempengaruhi kesejahteraan mereka. Hari Nelayan Nasional 6 April kemarin harusnya menjadi titik balik untuk lebih mengenal dampak yang terjadi pada pahlawan protein kita.
Harga ikan, penentu nelayan melaut besok

Pada awal pandemi terjadi, harga ikan yang terjual bisa menurun hingga 50% dari biasanya. Harga ikan yang biasanya dijual ke pabrik Rp. 40.000 per kilo terjual ke masyarakat umum hanya Rp. 15.000 sampai Rp. 20.000 per kilonya. Hal ini disebabkan permintaan ekspor yang menurun drastis pula.
Nelayan tradisional juga diketahui masih memiliki banyak kekurangan dari segi fasilitas untuk operasional memancing. Maka seringkali didapatkan nelayan yang berhutang hanya untuk persiapan melautnya esok hari. Untungnya, masyarakat masih menjunjung tinggi nilai kebersamaan melalui komunitas sosial untuk membantu nelayan yang mengalami kesusahan sambil menunggu bantuan dari pemerintah.
Warga pesisir yang susah makan ikan

Fakta menarik diketahui bahwa masyarakat Indonesia masih belum mencapai target konsumsi ikan sebanyak 54,49 kg/kapita/tahun. Tak heran bila pemerintah masih memprogramkan Gemarikan (Gemar Makan Ikan). Padahal ikan memiliki nilai gizi yang tinggi, loh!
Studi lain juga mengatakan keluarga nelayan masih banyak yang masih kesulitan untuk mendapatkan makanan yang layak. Ikan yang berlimpah pun masih belum cukup memenuhi kebutuhan akan sayur dan buah keluarga nelayan. Ditambah ikan kadang ngga dikonsumsi karena merasa lebih baik untuk dijual sebagai sumber pemasukan. Ini menyimpulkan bahwa pola asuh gizi ibu serta akses ekonomi masih menjadi faktor utama masyarakat dalam mencapai ketahanan pangan.
Sampah pandemi yang mengotori birunya laut

Indonesia yang memiliki laut luas ternyata hanya berada di peringkat 137 dari 221 wilayah kelautan berdasarkan Ocean Health Index. Pengelolaan laut ini juga sejalan dengan tak terkendalinya sampah menuju laut. Ngga jarang pula ditemui keluhan dari turis, misalnya pantai-pantai di Bali yang mulai kotor karena sampah.
Di masa pandemi sampah medis juga ikut mengotori laut sebagai ujung alur sampah. Terjadi peningkatan signifikan berupa sampah seperti APD, zat kimiawi, dan plastik. Sampah plastik juga bertambah akibat kegiatan belanja online, seperti pembungkus plastik sekali pakai. Waduh, sepertinya perlu mulai berhemat juga ya!
Ya, pandemi memang mengubah banyak hal dan aktivitas masyarakat. Tapi jangan sampai aktivitas yang berpusat di perkotaan bisa menimbulkan efek buruk bagi saudara kita yang berada di pesisir pantai Indonesia. Pelaut, yang katanya nenek moyang di lagu masa kecil ini juga memerlukan bantuan dari untuk tetap bertahan di era New Normal saat ini. Oh ya, jangan lupa makan ikan, Teman Sehat!
Editor & Proofreader: Zafira Raharjanti STP